|
Rumah panggung dari kayu tradisional seperti ini malah lebih solid
untuk ‘melawan’ gempa. Tiang kolomnya mempunyai pondasi umpak masing2,
sehingga lebih fleksibel.
Di Jepang, yang merupakan negara ’surga
gunung api’, bahan dasar rumah mereka terbuat dari kayu dan kertas,
ditambah dengan pintu yang digeser ke samping, merupakan ‘teknologi’
sebuah rumah tahan gempa. Dan konsep sambunag2 kayu, merupakan konsep
‘jadul’ tetapi justru tetap harus dipelajari bagi ahli2 struktur jaman
sekarang ini.
Sementara di Indonesia, rumah tahan
gempa tergolong konsep yang memiliki fleksibilitas tinggi, mudah
membangunnya dan cukup kokoh, disebut konsep ‘revolusioner’, yaitu
konsep knock-down / bongkar-pasang yang sederahana, tetapi cukup
praktis. Rumah tahan gempa ini tidak didirikan diatas pondasi, tetapi
dengan menggunakan ‘umpak’ di setap kolom rumahnya. ‘Umpak’ adalah
pondasi yang hanya memakai batu kali atau batu bata, atau ‘buis beton
yang diisi dengan batu, sehingga jika terjadi gempa, reatif lebih
fleksibel, karena jika memakai material rumah2 konvensional, pondasi
serta beton ( jika tidak dihitung beban gempa oleh ahli struktur gempa )
akan mengalami keretakkan. Jika rumah tersebut diatas tanah yang jelek,
sebenarnya tetap bisa memakai umpak, tetapi tetap harus perbaikan tanah
dahulu. Jika memang harus memakaai tiang pancang, misalnya di tanah
yang bekas rawa, harus membuat ‘test beton vertical dan horisontal’
untuk tahu bagaimana kekuatannya terhadap beban dan gempa.
Pondasi umpak, yaitu pondasi setempat, untuk fleksibilitas, sebagai bangunan tahan gempa. Pun jika terpaksa membuat pondasi lajur, tidak bermasalah, seperti gambar di bawah ini.
Sebenarnya, semua bangunan pendek ( maksimal 2 lantai, sekitar 10 meter ), gudang, hangar atau ruko termasuk rumah mewah ( tetapi lebih ke arah rumah sederhana ), bisa memakai material kayu yang relatif tahan gempa, yaitu upaya untuk membuat seluruh elemen banguan menjadi satu kesatuan yang utuh, yang tidak ‘terlepas’ jika terjadi gempa. Begitu juga tentang sambungan2nya, merupakan sambungan2 yang terencana yang dihitung dan dibuat oleh ahli konstruksi kayu, bukan sambungan2 kayu konvensional seperti yang kita tahu selama ini.
|
Struktur bangunan kayu, dari kolom
sampai rangka atap. Pengisinya ( dinding ), bisa dengan kayu, batu
bata, ‘gedeg’ atau bamboo. Serta penutup atapnya, bisa dengan seng atau
‘decrabond’.
Tetapi, memang karena negara Indonesia
termasuk negara gempa karena Indonesia adalah ‘pertemuan sabuk
pegunungan Timur dan Barat’ sehingga banyak sekali gunung api di negara
kita. Sehingga konsep desain rumah tahan gempa HARUS memakai material
setempat, budaya masyarakat serta aspek biaya dan kemudahan pelaksanaan.
Dindingnya juga merupakan perpaduan
kayu, batu bata dan bisa juga dengan bamboo ( gedek ) bagi masyarakat
Jawa. Setiap bukaan, seperti pintu dan jendela harus dipasang balok,
yang menyatukan kusen kayu bagian atas. Ukuran balok atau kayu, standard
saja, memakai 2 x 5/10 ( kayu kaso, bukan reng ), dimaksudkan
masyarakat bisa memakainya karena strandard.
Bagaimana dengan atap? Kita harus
membuat kuda2 sebagai satu kesatuan antara kolom dengan rangka kuda2nya,
misalnya 1 batang diagonal kuda2 dipanjangkan sampai kekolom, langsung
sebagai tiang yang berdiri di umpak. Konstruksi atapnya tetap
menggunakan kayu ( kaso 5/10 cm dan reng ¾ cm ) dan atapnya menggunakan
seng atau material modern yang lebih baik, yaitu ‘Decrabond’ ( seperti
seng gelombang dengan ukuran yang sama, tetapi bermaterial tidak berisik
jika hujan serta berwarna seperti genteng, terracotta atau warna2 yang
lebih modern ). Lalu seperti biasa, hubungan antara kuda2 yang atu
dengan yang lain, menggunakan batang pengaku bersilang, seperti segi
tiga. Jangan lupa, hubungan antara kayu dimanapun, jangan ada di tengah2
sambungan, melainkan ¼ atau ¾ nya dari titik pertama.
Gambar diatas adalah gambar bangunan
rumah konvensional, aku hanya ingin memperlihatkan tentang gambar kuda2
saja, dengan diatasnya rangka atap : gording 8/12, kaso 5/10 dan rend
¾.
Jika ingin memakai plafond, jangan
memakai gypsum, karena gypsum akan bisa retak. Lebih baik memakai
tripleks. Oya, sebaiknya jangan memakai genteng, karena jika ada gempa,
genteng2 dapat berjatuhan dan akan menimpa yang ada di rumah tersebut.
Material seng versus ‘decrabond’.
Bambu juga bisa ‘melawan’ gempa. Tetapi
karena kita susah mencari bamboo yang panjang, serta karena
penyambungannya lebih sulit disbanding penyambungan kayu, maka bampu
lebih mahal disbanding kayu, walau konsep rumah bamboo mulai dipopulerka
sebagai ‘rumah tahan gempa’, dengan menanam bamboo kuning yang besar
dan panjang. Bambu lebih ringan, ‘kosong’ dan solid sebagai material
bangunan, terutama untuk rumah.
Jelas sekali, konsep alam untuk kita adalah saling ‘bersahabat’. Gempa
atau tsunami atau apapun yang bersifat ‘force majeour’, yang sebenarnya
memang kita tidak bisa melakukan apa2, jika kita tetap bersahabat dengan
alam,